Sejarah Sepatu Hak Tinggi
Sebagian
besar masyarakat kelas bawah di Mesir kuno berjalan tanpa alas kaki.
Namun lukisan pada dinding yang diperkirakan berasal dari tahun 3500 SM
menggambarkan versi awal dari sepatu yang dikenakan oleh sebagian
besar masyarakat kelas atas Mesir kuno. Ada juga beberapa penggambaran
yang memperlihatkan masyarakat kelas atas baik pria maupun wanita
mengenakan sepatu berhak ketika melakukan satu upacara. Selain itu,
para tukang jagal Mesir kuno juga memakai sepatu hak tinggi untuk memudahkan mereka berjalan di atas genangan darah binatang mati.
Di Yunani kuno, terdapat sandal dengan tudung yang disebut "kothorni", atau yang dikenal sebagai "buskin"
pada zaman Renaissance. Kothorni adalah sepatu dengan sol tinggi yang
terbuat dari kayu atau gabus yang populer terutama di kalangan aktor
pertunjukan yang akan mengenakan sepatu yang lebih tinggi untuk
menunjukkan status sosial mereka. Di Romawi kuno, pelacuran adalah hal
dilegalkan, dan para pelacur wanita dapat dengan mudah dikenali dengan
sepatu hak tinggi yang mereka kenakan sebagai ciri khas.
Kothorni |
Selama Abad Pertengahan, baik laki-laki maupun perempuan memakai "patten",
sejenis sepatu dengan sol tinggi terbuat dari kayu. Sepatu-sepatu
tersebut merupakan cikal bakal dari sepatu hak tinggi. Sol tinggi dari
kayu ini berfungsi untuk menjaga agar sepatu terhindar dari lumpur dan
puing-puing lain di jalanan ketika berjalan di luar ruangan.
Patten |
Sepatu
dengan tumit yang tinggi juga digunakan oleh para pengendara kuda di
Timur Tengah yang menggunakan sepatu hak tinggi untuk memudahkan kaki
pengendara agar tetap berada di sanggurdi. Hal ini seperti yang
digambarkan pada sebuah mangkuk keramik yang berasal dari abad ke-9
dari Persia.
Pada abad ke-15, sejenis sepatu berplatform yang dinamakan "chopines",
diciptakan di Turki dan populer di seluruh Eropa sampai pertengahan
abad ke-17. Chopines hanya digunakan secara eksklusif oleh perempuan.
Tinggi chopines ini dapat berkisar dari 7 sampai 30 inchi, sehingga
dibutuhkan tongkat atau pelayan untuk membantu mereka yang mengenakannya
ketika berjalan. Chopines biasanya dirancang dengan gabus atau kayu
yang ditumpuk pada bagian tumitnya. Orang-orang Venesia kemudian membuat
chopines menjadi simbol status sosial dan kekayaan bagi para wanita.
Selain itu sepatu hak tinggi ini juga digunakan agar para wanita menjadi
sulit untuk bergerak sehingga dapat mencegah wanita untuk berselingkuh
atau kabur dari rumah suaminya.
Chopines |
Pada
tahun 1533, laki-laki sudah mulai mengenakan sepatu hak lagi. Istri
Raja Prancis Henry II, Ratu Catherine de' Medici yang berasal dari
Italia, menugaskan seorang tukang sepatu untuk menciptakan sepatu
bergaya dengan hak yang lebih tinggi dan merupakan adaptasi perpaduan
dari chopines dan patten (dimana sol kayu ditinggikan baik pada bagian
tumit dan jari kaki) yang dimaksudkan untuk melindungi kaki pemakainya
dari debu kotoran dan lumpur. Tetapi tidak seperti chopines, sepatu
rancangannya ini memiliki bagian tumit yang lebih tinggi dari jari
kaki. Sepatu dengan model ini kemudian dipakai secara luas di Italia,
yang kemudian diwajibkan dan melarang pemakaian chopine.
Sepatu
hak tinggi ini kemudian dengan cepat mendapat perhatian dari para
pemerhati mode dari Perancis dan kemudian menyebar ke negara-negara
lainnya. Baik pria maupun wanita terus mengenakan sepatu hak tinggi
mengikuti mode keluarga kerajaan sepanjang abad ke-17 dan ke-18. Ketika
Revolusi Perancis terjadi di akhir abad 18, pemakaian sepatu hak
tinggi menjadi amat dibenci karena asosiasi para pemakainya dengan
kekayaan dan kebangsawanan. Sepanjang sebagian besar abad ke-19, sepatu
dan sandal dengan hak datar biasa digunakan oleh pria maupun wanita.
Pada akhir abad 19, sepatu hak tinggi mulai muncul kembali dalam mode
dan menjadi sangat populer digunakan terutama di kalangan wanita sampai
saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar